Selasa, 20 April 2010

Pontius Pilatus: Dari Pengadilan Kontroversial Sampai Kejatuhan [buku 2]

Sumber:http://wpcontent.answers.com/

Entah bagaimana perasaan Pontius Pilatus jika dia tetap hidup sampai saat ini. Setiap minggu, selama berabad-abad, namanya selalu disebutkan oleh jutaan mulut di dunia dengan perasaan ngeri: “Aku percaya pada….Yesus Kristus yang menderita sengsara di bawah Pontius Pilatus, disalibkan, mati dan dikuburkan.”  Itulah bunyi kredo [pengakuan iman] yang diucapkan setiap minggu di gereja. Pertanyannya, apakah dia merasa tertuduh karena telah menghukum mati orang yang tidak bersalah? Ataukah justru merasa berjasa karena tindakannya ini justru membangkitkan sebuah agama besar?
Pilatus adalah seorang prefek yang memimpin propinsi Yudea di bawah kekaisaran Romawi.  Pada tahun 33 M, dia mengalami persoalan yang pelik. Mahkamah Sanhedrin, sebuah pengadilan agama Yahudi, baru saja menjatuhkan hukuman mati terhadap seorang pemuda bernama Yeshu Hannosri [Yesus dari Nazaret]. Menurut hukum agama, setelah divonis mati si terpidana akan diseret ke pojok kita dan ditelanjangi. Anggota Sanhedrin yang mengajukan saksi dan tuduhan atas orang itu mendapat giliran pertama untuk menjatuhkan batu dari atastembok kota. Jika si terpidana belum mati, maka semua anggota Sanhedrin yang hadir wajib melempari dengan batu sampai mati.
Akan tetapi saat itu Yudea berada di bawah kekuasaan Romawi. Menurut ius gladii [hukum Romawi], prefek Yudea wajib memeriksa kembali vonis tersebut. Maka mereka menggelandang Yesus ke hadapan Pilatus untuk memintakan penetapan hukuman mati. Saat mengadakan pemeriksaan, Pilatus tidak mendapatkan kesalahan yang terdapat pada pemuda dari Nazaret ini. Namun Mahkamah Sanhedrin tidak menyerah. Mereka menyusun dakwaan yang membuat Pilatus terjepit dan tak bisa berkelit untuk mengadili Yesus. ” Kami mendapatkan orang ini membahayakan bangsa kami dengan melarang membayar pajak kepada Kaisar Tiberius dan menyatakan diri sebagai Mesias, seorang raja,” kata imam Kayafas kepada Pilatus. Ini adalah dakwaan yang berlapis-lapis. Lapisan pertama, Yesus dituduh sebagai penghasut dan pemberontakan. Kedua, Yesus dituduh menentang pembayaran pajak kepada Kaisar. Ketiga, Yesus dituduh mengangkat diri sebagai raja.
Tuduhan terakhir ini yang paling berat. Menurut hukum Romawi, orang yang memberontak terhadap Romawi harus disalib, diumpankan kepada binatang buas atau dibuang di suatu pulau. Meski begitu, hati kecil Pilatus tetap mengatakan bahwa pemuda ini tidak bersalah. Namun yang membuat Pilatus jengkel, pemuda ini tidak banyak mengeluarkan kata-kata pembelaan. Tiba-tiba muncul celah untuk berkelit. Meski tempat kejadiannya [forum delicti] ada di Yudea, tapi karena pelakunya dari Galelia, maka sesuai asas forum domicili, maka Pilatus melimpahkan perkara ini kepada Herodes Antipas, tetrarka Galilea.
Antara Pilatus dan Herodes Antipas ini terjadi hubungan benci tapi rindu. Sebagai penguasa yang bertetangga, mereka sebenarnya saling curiga, namun dipaksa untuk melakukan aliansi karena memiliki kepentingan yang sama yaitu melanggengkan kekuasaan. Dengan melimpahkan perkara ke Herodes, kelihatannya Pilatus menghormati koleganya, namun sesungguhnya dia sedang melemparkan bola panas ke Herodes Antipas.  Herodes Antipas memeriksa perkara itu dengan antusias sebab dia sudah banyak mendengar tentang Yesus yang melakukan banyak mukjizat. Dia ingin melihat langsung “pertunjukan” mukjizat. Namun kemudian dia harus gigit jari karena sebagaimana di istana Pilatus, Yesus tidak banyak berkata-kata, layaknya domba yang akan dibawa ke pembantaian. Karena kesal, Herodes memutuskan untuk melepaskan hak yuridiksinya dan mengembalikan kasus ini kepada Pilatus.
Mendapat limpahan itu, Pilatus masih berusaha untuk berkelit. Sesuai adat Yahudi, menjelang perayaan Paskah, penguasa membebaskan seorang tawanan. Maka Paulus mengambil Barabas dari penjara. Pilatus lalu mengajukan pilihan kepada orang Yahudi yang mulai memadati istana Pilatus, apakah dia harus membebaskan Barabas atau Yesus. Pilatus sengaja memilih Barabas, seorang penjahat keji, dengan perhitungan bahwa massa akan memilih untuk membebaskan Yesus. Dugaannya meleset! Karena hasutan pemuka agama Yahudi, orang banyak itu justru menuntut pelepasan Barabas.
Pilatus mencoba usaha lain. Dia memerintahkan tentaranya untuk melakukan fustigatio atau hukum cambuk terhadap Yesus. Tujuannya supaya orang banyak timbul belas kasihan sehingga setuju untuk membebaskan Yesus. Usahanya nihil. Massa tetap bergeming dan menuntut hukuman mati bagi Yesus.
Imam Kayafas lalu melontarkan jurus yang mematikan. Dengan santun, Kayafas berkata kepada Pilatus, “Tugas Anda di sini adalah mempertahankan adat kebiasaan kami. Kalau Anda gagal melakukan ini, maka Anda bukan lagi sahabat kaisar.” Meski dilontarkan dengan sopan, namun ucapan ini menohok langsung ke jantung Pilatus.
Tanpa sengaja Pilatus mengusap cincin yang melingkar di jarinya, sebuah cincin pemberian kaisar. Dengan mengenakan cincin ini, dia memiliki hak-hak istimewa. Pilatus menyadari bahwa akhir-akhir ini posisinya sedang terancam. Kaisar Tiberius belum sepenuhnya percaya pada kesetian Pilatus, mengingat Pilatus memiliki hubungan dekat dengan Sejanus, penguasa yang ditumbangkannya. Jika mahkamah Sanhedrin melapor ke Tiberius, maka tamatlah kariernya. Tidak hanya itu, mungkin dia dan keluarganya juga akan ditumpas juga.
Pilatus pun membuat keputusan diplomatis. “Dengarkanlah aku, hai orang-orang Israel!” katanya dengan suara lantang,”Pengadilan ini tidak menyatakan bahwa Yesus dari Nazareth inibersalah, tapi karena Mahkamah Senhedrin menghukum mati, dan karena prefek Roma harus menghormati dan melindungi hukum agama Yahudi, maka orang ini akan disalibkan.” Sesudah berkata demikian, Pilatus membasuh tangan di depan orang banyak. “Aku tidak bersalah terhadap darah orang ini.”
***
Pilatus mulai melupakan peristiwa penyaliban itu dan fokus pada pekerjaannya. Beberapa bulan kemudian, Pilatus kembali terlibat dengan masalah keagamaan. Kali ini dengan orang yang mengaku sebagai Mesias Samaria.
Berbeda dengan orang Yahudi, orang Samaria hanya mengakui Taurat Musa. Mereka juga membangun Kenisah sendiri di gunung Gerizim. Orang yang mengaku Mesias ini menyatakan bahwa Musa telah menyembunyikan Tabut Rahasia di suatu gua di gunung Gerizim. Karena itu, dia memimpin orang-orang Samaria ke gunung Gerazim untuk menggali tabut. Sesunggunya, “Mesias” ini telah berbohong karena Musa tidak pernah menyembunyikan sesuatu di gunung Gerizim. Musa bahkan tidak pernah menginjakkan kakinya di Palestina, sebelah barat sungai Yordan. Namun kenyataan ini tak dihiraukan orang banyak karena mereka silau oleh janji spektakuler yang dijanjikan oleh sang ‘Mesias.’  Sesungguhnya, mesias palsu ini diam-diam menyembunyikan tabut palsu di gunung Gerizim. Dia menyusun rencana, setelah menemukan tabut, maka dia akan meresmikan diri sebagai penguasa yang disebutnya pemerintahan seribu tahun.
Pilatus memantau pergerakan massa yang berduyun-duyun mendaki ke gunung Gerizim. Setelah dicermati, di antara banyak orang itu, ternyata ada beberapa orang yang membawa senjata. Hal ini perbuatan terlarang menurut hukum Yahudi. Pilatus memerintahkan supaya kelompok itu menyerahkan senjata, tetapi ditolak. Maka terjadilah pertempuran berdarah. Pilatus berhasil menumpas mereka.
Rupanya kasus ini berbuntut panjang. Majelis Samaria mengadukan tindakan Pilatus ini kepada kaisar. Kaisar Tiberius yang memang tidak menyukai Pilatus memakai kesempatan ini untuk mencopot jabatan Pilatus. Selanjutnya, Pilatus dipanggil menghadap pengadilan di istana kaisar Tiberius di pulau Capri.
Pilatus berangkat ke Roma dengan pasrah. Dia merasa riwayatnya sudah tamat. Tidak hanya kariernya, tapi juga nyawanya. Tidak hanya nyawanya, tapi juga nyawa keluarganya. Sesampai di Roma, terjadi perubahan deastis. Kaisar Tiberius yang sakit-sakitan dibunuh oleh Gayus Caligula, anak angkat Tiberius, yang kemudian mengangkat diri sebagai kaisar yang baru. Pilatus lolos dari lubang jarum. Dia luput dari hukuman. Meskipun jabatannya tidak dipulihkan namun dia merasa beruntung karena dia dan keluarganya selamat.
Sayangnya situasi aman ini hanya berlangsung sesaat. Setelah pulih dari gangguan syaraf total, Caligula berubah menjadi monster yang menakutkan. Caligula tidak pernah dididik untuk memimpin. Ia tidak penah memimpin tentara, dan hanya punya sedikit di dalam pemerintahan. Kini setelah dunia berada di bawah kainya, kaisar muda ini teracuni oleh hasrat akan kekuasaan. Dia menyingkirkan orang-orang terdekatnya karena mencurigai mereka sebagai pesaingnya. Calon pesaingnya, Gemellus yang masih remaja itu diracuni. Dia menjuluki dirinya sebagai “Kaisar yang terbaik dan Terbesar.” Dia juga melakukan incest [berhubungan seks dengan saudara kandung]. Dia juga gemar merusak rumah tangga orang lain. Dalam pesta perkawinan temannya, dia melarikan pengantin perempuan ke dalam istana, kemudian “membuangnya” beberapa hari kemudian.
Anggota senat harus berlari-lari di samping kereta jika ingin berbicara kepadanya. Kalau ada orang yang menentangnya, maka orang itu akan dieksekusi dengan perlahan-lahan supaya “korbannya dapat merasakan bawa ia akan mati.” Lalu diakhiri dengan pemengalan kepala di hadapan Caligula yang sedang makan siang.
Caligula juga membuat daftar nama orang yang dianggapnya sebagai ancaman. Ada dua daftar, yaitu “Pedang” dan “Belati.” Orang yang masuk dalam daftar “Pedang” akan dihukum mati di depan orang banyak, sedangkan daftar “Belati” berisi nama orang-orang yang harus dilenyapkan diam-diam.
Kegilaan Caligula ini sudah sangat memuakkan beberapa perwira dan pejabat Romawi. Melalui serangkaian konspirasi, beberapa orang melakukan kudeta dengan membunuh Caligula. Ditemukan tiga puluh tusukan di tubuh Caligula.
***
Munculnya Claudius sebagai kaisar yang baru memberi kesempatan kepada Pilatus untuk pensiun. Dia menikmati masa tuanya dengan membaca tulisab-tulisan filsafat dan sastra. Suatu hari, dia mendapat kunjungan yang mengejutkan. Kornelius, yang pernah menjadi perwiranya, mendadak muncul di rumahnya.
Kornelius menceritakan tentang keyakinannya yang baru. Hal itu bermula dari pertemuannya dengan Petrus, salah satu murid Yesus. Dengan antusias, warga negara Romawi mengisahkan iman yang baru saja dihayatinya, yang berdasarkan pada ajaran Yesus dari Nazaret.
Pertemuannya ini seakan menyingkapkan kembali peristiwa yang sudah lama berlalu. Pilatus kembali teringat sosok Yesus yang dijatuhi hukuman mati. Sementara itu, Procula, isteri Pilatus, terlihat antusias mendengar kisah Kornelius ini. Sesungguhnya, saat suaminya masih beryugas di Yudea, Procula mulai tertarik pada ajaran Yesus. Akan tetapi karena posisi Pilatus yang memangku jabatan penting dalam kekaisaran Romawi, maka dia tidak berani terang-terangan menunjukkan minatnya.
Sejak pertemuannya dengan Kornelius ini, Procula mulai mengikuti pertemuan-pertemuan ibadah yang dilakukan oleh orang Kristen. Sementara itu Pontius Pilatus masih memiliki hambatan atas keputusan yang diambilnya pada masa lalu: Seandaniya dulu Yesus mau berkata-kata membela diri, maka Pilatus tidak akan ragu-ragu untuk membebaskan-Nya. Tapi jika itu yang terjadi  maka apa yang akan terjadi dengan kekristenan? Pilatus berpendapat, seandainya Yesus bukan illahi, maka hidup dan karier Pilatus akhirnya tidak akan menjadi penting. Sejarah akan melupkannya. Akan tetapi jika orang Kristen benar tentang apa yang diyakininya, ia akan mendapat makna yang lebih mendalam. Namun apakah ini cukup menjadi alasan untuk menerima iman itu? Apakah layak? Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi pergumulan batin Pilatus.
****
Novel ini memang didasarkan pada sebuah sejarah yang terjadi di tanah Palestina. Akan tetapi novel ini bukan buku sejarah. Dalam menyusun jalinan cerita, Paul L Maier menggunakan berbagai kepingan-kepingan informasi dari berbagai catatan sejarah. Ibarat akan merekonstruksi sebuah candi, Maier mengalami kesulitan karena banyak batu penyusunnya yang telah hilang. Itu sebabnya, dia banyak melakukan tebakan spekulatif yang menghubungkan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain.
Paul L Maier adalah seoran profesor sejarah di Western University, USA. Buku ini merupakan jilid kedua dari buku yang berjudul asli Pontius Pilate.
Dengan membaca buku ini, kita akan mendapatkan gambaran yang lebih manusiawi tentang Pontius Pilatus. Sebagai penguasa, saat itu dia mengalami kenyataan pelik yang menjepit posisinya. Dia harus berperang melawan hati nuraninya: memilih karier politik atau mematikan rasa keadilan.
Buku yang direkomendasikan oleh Moody Magazine sebagai suplemen Perjanjian Baru ini diakhiri dengan penyajian fakta yang menarik. Pada khotbah masa Pra Paskah, seorang Bapa Gereja awal menyatakan bahwa Pilatus “sudah menjadi Kristen dalam kerinduan hatinya.” Disajikan pula informasi bahwa gereja Ortodoks Yunani telah mengangkat Procula sebagai orang kudus [santa] dan menetapkan tanggal 27 Oktober sebagai peringatan Santa Procula. Sementara itu gereja Etiophia menetapkan 25 Juni sebagai hari “Santo Pilatus dan Santa Procula.”

0 komentar:

Posting Komentar

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by BLAK METAL AND MORE | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks